Oleh: Sofyan Chalid bin Idham Ruray
بسم
الله الرحمن الرحيم
Sesungguhnya kemuliaan manusia dalam
pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bukanlah pada kemanusiaan itu sendiri,
melainkan karena
ibadahnya kapada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karenanya orang-orang kafir tidak ada kemuliaan mereka sedikit pun dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan merekalah makhluk yang paling hina dan paling rendah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ibadahnya kapada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karenanya orang-orang kafir tidak ada kemuliaan mereka sedikit pun dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan merekalah makhluk yang paling hina dan paling rendah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir dari
kalangan ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrikin (lainnya)
(akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah
seburuk-buruk makhluk.” (Al-Bayyinah: 6)
Juga firman Allah Ta’ala:
أَمْ
تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا
كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
“Apakah kamu mengira bahwa
kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah
seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang
ternak itu).” (Al-Furqon: 44)
Sebaliknya, orang-orang yang
beriman, yaitu orang-orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, mereka adalah makhluk terbaik dalam pandangan Allah Tabaraka wa
Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan beramal sholeh mereka itulah sebaik-baik makhluk.” (Al-Bayyinah: 7)
Maka memurnikan ibadah hanya kepada
Allah semata dan menjauhi segala bentuk perbuatan syirik adalah perkara yang
paling penting dalam kehidupan seorang hamba.
Namun yang juga tak kalah penting
untuk dipahami adalah makna ibadah itu sendiri serta syarat diterimanya ibadah,
karena tidaklah sembarang ibadah yang diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ibadah yang diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah yang sesuai dengan
persyaratan yang telah ditetapkan oleh-Nya.
✽
Makna Ibadah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah menjelaskan makna ibadah adalah,
اسم
جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الباطنة والظاهرة
“Satu nama yang mencakup setiap
perkara yang dicintai dan diridhoi Allah Ta’ala, baik itu perkataan maupun
perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).”
(Al-‘Ubudiyyyah, hal. 44)
Kemudian beliau mencontohkan
amalan-amalan lahir seperti, “Sholat, zakat, puasa, haji, berkata jujur,
menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi,
menepati janji, amar ma’ruf nahi mungkar, berjihad terhadap orang-orang kafir
dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, musafir,
budak, baik manusia maupun hewan, berdo’a, dzikir, membaca al-Qur’an dan yang
semisalnya adalah termasuk ibadah”.
Dan amalan-amalan batin seperti,
“Cinta kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, senantiasa
kembali (taubat) kepada-Nya, mengikhlaskan agama untuk-Nya, sabar dengan
hukum-Nya, bersyukur dengan nikmat-nikmat-Nya, ridho dengan ketetapan-Nya,
bertawakkal kepada-Nya, berharap rahmat-Nya, takut dari adzab-Nya dan yang
semisalnya adalah termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala”.
Jadi, makna ibadah dalam Islam
mencakup seluruh bentuk kebaikan yang harus diamalkan oleh manusia pada semua
sisi kehidupannya.
✽
Syarat Diterimanya Ibadah
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menjelaskan dalam firman-Nya:
الَّذِي
خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
“(Allah) Yang menjadikan mati dan
hidup, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik
amalannya.” (Al-Mulk: 2)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Makna ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan
makhluk-makhluk dari sesuatu yang tadinya tidak ada (kemudian menjadi ada)
untuk menguji mereka siapa diantara mereka yang paling baik amalannya.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 8/176)
Al-Imam Abu ‘Ali Al-Fudhail bin
‘Iyadh rahimahullah berkata, “Amalan yang paling baik adalah yang paling ikhlas
dan paling benar”. Orang-orang bertanya, “Wahai Abu ‘Ali apakah yang dimaksud
dengan paling ikhlas dan paling benar?” Beliau menjelaskan, “Sesungguhnya
amalan jika telah ikhlas tetapi tidak benar maka tidak diterima (oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala). Demikian sebaliknya, jika amalan tersebut telah benar
tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)
sampai menjadi ikhlas dan benar. Sedangkan yang dimaksud dengan amal yang
ikhlas adalah yang dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang dimaksud
dengan amalan yang benar adalah jika dilakukan sesuai Sunnah (Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam).” (Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, hal. 451-452)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
berfirman:
فَمَنْ
كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan
dengan Robbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Robbnya.” (Al-Kahfi: 110)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menerangkan makna, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya,
yaitu pahala dan balasannya yang baik. Maka hendaklah dia beramal shalih, yaitu
amalan yang sesuai syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Robbnya, yaitu hendaklah
(ikhlas) hanya mengharap wajah Allah saja tiada sekutu bagi-Nya. Dua hal ini
(amal sesuai syari’at dan ikhlas) merupakan dua rukun amal yang diterima, yaitu
harus ikhlas karena Allah Ta’ala dan sesuai syari’at Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/205)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata, “Keduanya merupakan dua pokok terkumpulnya agama, yaitu
kita tidak boleh beribadah kecuali kepada Allah Ta’ala dan kita beribadah
kepada-Nya dengan apa yang disyari’atkan oleh-Nya, tidak dengan bid’ah-bid’ah.”
(Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, hal. 451)
Dari uraian di atas dapat kita
ketahui bahwa syarat diterimanya ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala adalah:
Pertama: Ikhlas, yaitu beribadah
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedua: Mutaba’ah, yaitu mengikuti
sunnah (petunjuk) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Kedua syarat ini sesungguhnya
merupakan pokok keislaman, yaitu makna dan konsekuensi dua kalimat syahadat;
Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah. Karena syahadat Laa ilaaha
illallah menuntut kita untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan hanya karena-Nya pula, sedang syahadat Muhammadur Rasulullah menuntut kita
untuk meneladani beliau shallallahu’alaihi wa sallam dalam beribadah kepada
Allah. Itulah sebabnya kenapa dua kalimat ini meski terdiri dari dua bagian tetapi
dijadikan dalam satu rukun; karena kedua syarat tersebut tidak boleh terpisah
satu dengan yang lainnya (lihat Syarhu Ushulil Iman, karya Ays-Syaikh
Al-‘Utsaimin rahimahullah).
Maka wajib bagi kita untuk beramal
dengan ikhlas dan mutaba’ah, serta menjauhi perkara-perkara yang dapat merusak
kedua syarat tersebut.
✽
Perusak Ikhlas
Perusak ikhlas adalah riya’ dan
sum’ah, yaitu beramal bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi karena
ingin dipertontonkan atau diperdengarkan kepada manusia. Demikian pula beramal
karena dunia dapat merusak keikhlasan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda:
إنما
الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى
الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
“Sesungguhnya amalan-amalan manusia
tergantung niat, dan setiap orang (mendapatkan balasan) sesuai niatnya. Maka
barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya (yakni mendapatkan balasan kebaikan sesuai niatnya), dan
barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin dia raih, atau wanita yang ingin
dinikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari Amirul Mu’minin Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu)
Riya’ dalam beramal juga termasuk
kategori syirik kecil yang perkaranya amat halus dan samar, sehingga seringkali
merusak amalan seseorang tanpa disadarinya. Oleh karenanya Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam sangat khawatir penyakit riya’ ini akan menimpa
manusia-manusia terbaik di zaman beliau, yakni para sahabat radhiyallahu’anhum.
Oleh karena itu, kita lebih lebih layak untuk takut dari penyakit riya’ ini.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إن
أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر قالوا وما الشرك الأصغر يا رسول الله قال الرياء
يقول الله عز و جل لهم يوم القيامة إذا جزى الناس بأعمالهم اذهبوا إلى الذين كنتم
تراؤون في الدنيا فانظروا هل تجدون عندهم جزاء
“Sesungguhnya yang paling aku takuti
menimpa kalian adalah syirik kecil”, para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud
syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik kecil itu) riya’,
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada mereka (orang-orang yang
riya’ dalam beramal), yaitu ketika Allah Ta’ala telah membalas amal-amal
manusia, (maka Allah katakan kepada mereka), “Pergilah kalian kepada
orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika
di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari
mereka?!”.” (HR. Ahmad, no. 23680, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shohihut Targhib, no. 32)
Betapa bahayanya perbuatan syirik
kecil (riya’) ini, sehingga tidak ada tempat bagi kita untuk selamat darinya
selain meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan senantiasa
menjaga niat kita. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengajarkan
sebuah doa:
اللهم
إني أعوذ بك أن أشرك بك وأنا أعلم وأستغفرك لما لا أعلم
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu
dari menyekutukan-Mu yang aku ketahui dan aku memohon ampun kepadamu (dari
menyukutukan-Mu) yang tidak aku ketahui.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul
Mufrad, no. 716, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohih Al-Adabil
Mufrad, no. 266)
✽
Perusak Mutaba’ah adalah Bid’ah
Adapun perusak mutaba’ah adalah
perbuatan bid’ah dalam agama, yaitu mengada-adakan suatu perkara baru dalam
agama (bukan dalam masalah dunia), atau mengamalkan sesuatu yang tidak
berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Amalan bid’ah tertolak, tidak akan
sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan inilah sejelek-jelek perkara
dan setiap bid’ah pasti sesat. Sebagaimana penjelasan Nabi yang mulia
shallallahu’alaihi wa sallam dalam beberapa hadits berikut ini:
1. Hadits Aisyah radhyallahu’anha,
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
من
أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد
“Barangsiapa yang mengada-ngadakan
perkara baru dalam agama kami ini apa-apa yang bukan daripadanya maka ia
tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Hadits Aisyah radhiyallahu’anha,
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
من
عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang melakukan suatu
amalan yang tidak ada padanya perintah kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim, no. 4590)
3. Hadits Jabir bin Abdullah
radhiyallahu’anhuma yang mengisahkan khutbah Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam:
أَمَّا
بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى
مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du, sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad (shallallahu’alaihi wa sallam) dan seburuk-buruk urusan
adalah perkara baru (dalam agama) dan semua perkara baru (dalam agama) itu
sesat.” (HR. Muslim, no. 2042)
4. Hadits Al-Irbadh bin Sariyah
radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
أُوصِيكُمْ
بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا
بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kalian agar
senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara)
meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah, karena sesungguhnya
siapa pun diantara kalian yang masih hidup sepeninggalku akan melihat
perselisihan yang banyak (dalam agama), maka wajib bagi kalian (menghindari
perselisihan tersebut) dengan berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
Al-Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu dan
gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian terhadap
perkara baru (bid’ah dalam agama) karena setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu
Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677)
Setelah Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan kepada kita bahwa semua perkara baru
dalam agama yang tidak bersandar kepada dalil syar’i adalah bid’ah dan setiap
bid’ah itu sesat, masihkah pantas bagi kita beramal hanya karena mengikuti
seorang tokoh atau mengikuti kebanyakan orang!? Dan masihkah layak kita
berpendapat ada bid’ah yang baik (hasanah)!?
Maka di sinilah pentingnya ilmu
sebelum beribadah kepada Allah Ta’ala. Bahwa ibadah tidak boleh sekedar
semangat, tetapi harus berlandaskan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
sebagaimana yang dipahami dan diamalkan oleh generasi awal ummat Islam.
Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal
Muwaffiq.
No comments:
Post a Comment
Silahkan jika anda yang ingin komentar, namun tolong gunakan bahasa yang sopan